Sahabat…yang dirahmati Allah

Akar kata ‘AKHLAQ’ dalam bahasa ‘Arab adalah ‘kholaqo’ (masdar tsulastsy) yang  merupakan akar pula kata-kata ‘kholiq’, ‘kholq’ dan ‘makhluq’. ‘kholaqo’  sendiri berarti menciptakan. Ketiga buah kata ‘Kholiq’, ‘Akhlaq’ dan ‘makhluq’  murapakan kata yang saling berhubungan erat. Dan ini bisa kita sama-sama rujuk kepada Al-Qur’an, surah Ar-Rahmaan ayat 1-4:

 “Ar-Rahmaan (Allah, Al-Kholiq). (Yang) Mengajarkan Al-Qur’an. (Yang)  Menciptakan (kholaqo) Manusia (Al-Insaan, Al-Makhluuq). (Yang) mengajarkannya  Al-Bayaan.”

 Insya’ Allah, dengan bashirah (daya pandang) yang senantiasa dituntun oleh  fitrah yang suci, kita akan memahami hakikat ayat ini bahwa: Allah adalah  Al-Khaliq yang telah menciptakan makhluq-Nya (manusia) dan membekalinya,  menuntunnya, mengajarkan melalui utusannya Al-Qur’an yang merupakan penjelas bagi segala sesuatu (Al-Bayaan). Dengan berbekal dan berpedoman kepada  Al-Qur’an manusia menjadi terbimbing dan terarah hidupnya.

 Jadi akhlaq didalam Islam bukanlah semata-mata sopan santun, etika, atau moral  dan hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:

  1. Islam selalu menyertai definisi dari sisi syari’ah disamping definisi secara bahasa. Ketika Islam (baca: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW) memperkenalkan  sebuah kata atau menggunakan kata yang sudah lazim digunakan manusia, maka kita

 harus memahami dalam konteks apakah hal itu digunakan? Karena kata-kata yang  digunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah seringkali memiliki arti sendiri/khas yang  tidak selalu sama dengan definisi umum (baca: bahasa). Adalah keliru jika kita  sebagai seorang muslim hanya menggunakan definisi secara bahasa saja.

Misalnya kata sholat yang dalam pengertian bahasa adalah do’a, maka dengan berpedoman pada pengertian sholat sebagai do’a akan kacau balaulah  sholat kaum muslimin karena masing-masing merasa bebas untuk mengekspresikan  do’anya. Namun ketika RasululLah SAW menyatakan ‘Sholluw kama roaytumuniy usholliy’ (sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat) dan Rasulallah  mempraktekkan shalat, maka disitulah definisi syar’i-nya diberikan, yaitu ‘gerakan-gerakan yang diawali dengan takbiiratu ‘l-Ihraam dan diakhiri dengan  salam, dikerjakan dengan syarat dan rukun tertentu.”

Demikian pula kata ‘Al-Jaahiliyyah’ yang diambil dari bahasa ‘arab  (akar katanya ‘Jahala’), namun tidak pernah digunakan oleh orang ‘arab sendiri  sampai Al-Qur’an menggunakannya. Karena itu definisi secara bahasanya yaitu  bodoh tidak ber- ilmu’ haruslah diiringi arti secara Al-Qur’an sebagai  penentu akan esensi kata tersebut (Ma’na Al-Jaahiliyyah mudah-mudahan sudah pernah dikupas…).

 ‘Akhlaq’-pun tidak terlepas dari definisi secara syar’i. Perhatikan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut ini: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (makaarima ‘l-Akhlaaq).” Disitu digunakan kata akhlaq-nya menggunakan Alif-lam yang sama dengan ‘the’ dalam bahasa Inggeris, jadi sudah spesifik apa yang dimaksud dengan Al-Akhlaaq disitu, dan tentunya bukanlah semata-mata etika, sopansantun atau moral.

 Ibunda ‘Aisyah ra menerangkan: “Adalah akhlaq beliau (RasululLaah)  itu Al-Qur’an.” Al-Qur’an telah menegaskan pula bahwa:”Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlaq mulia (khuluqin ‘adhiim).” (QS. Al-Qolam:4).

 Dari hadits-hadits dan ayat diatas dapat dipahami bahwa Al-Akhlaaq,  sebagaimana Islam itu sendiri, bersifat menyeluruh dan universal. Ia merupakan  tata nilai yang memang diset-up oleh Al-Khaliq bagi manusia untuk kemudahannya  dan kesejahteraannya dalam menjalankan missi kekhalifahannya dimuka bumi ini.  Ia merupakan tata nilai yang selalu selaras dengan fitrah kemanusiaannya dan  sudah pasti sinkron/nyambung dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah.

Barakallahu fiikum